Belajar dari Video Ahok dan Rizieq, Jadilah Muslim yang Cerdas

0
875

img_5106

Kegaduhan dugaan penistaan agama oleh Gubernur Non Aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok seperti tak berujung. Hal ini terlihat dari tiada satupun media di negeri ini yang melewatkan untuk tidak memberitakan dugaan penistaan agama oleh Ahok, padahal masih banyak pemberitaan penting lainnya yang menarik untuk diungkap ke permukaan.

Seperti pada artikel sebelumnya, Benarkah Ahok Melakukan Penistaan Agama telah dijelaskan dengan rinci mengapa Ahok menjadi terduga penista agama, yang kini selalu menjadi trending topic di berbagai media sosial di seantaro tanah air, bahkan dunia. Tak cukup sampai di situ, peristiwa inipun seakan menjadi sebuah topik hangat untuk didiskusikan, tak terkecuali di lingkungan mahasiswa Pasca Sarjana di Salemba. Sebenarnya sudah sampai ke level “tidak peduli” namun tak bisa dipungkiri kasus ini sungguh sayang jika dibiarkan begitu saja.

Dalam perkembangan kasus dugaan pidana pelecehan agama Islam oleh Ahok, beredar juga video pemimpin Front Pembela Islam Habib Rizieq saat berdakwah ke umatnya yang mendadak viral beberapa hari ini. Habib Rizieq ternyata pernah hampir serupa seperti Ahok lakukan, yaitu mengingatkan umatnya jangan sampai dibohongi orang dengan menggunakan ayat Al-Quran.

Hal ini terungkap dalam rekaman video yang berdurasi 47 detik, Rizieq menyebutkan “… yang menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk membenarkan daripada kemungkaran dan kebatilannya. Nauzubillah min zalik. Jadi kata Nabi, ini lebih bahaya dari Dajjal, lebih menakutkan dari Dajjal saudara, dia nipu umat pake ayat Al-Quran, dia nipu umat pake hadist Nabi. Nauzubillah min zalik. Karena itu kepada segenap umat Islam yang ada, saya mengajak semua. Yuk ke depan lebih selectly, jangan sembarang memilih guru”

Lantas mengapa video rekaman Ahok menjadi suatu permasalahan yang besar dan fatal, sedangkan Rizieq tidak demikian yang sejatinya memiliki konten “hampir” sama?

Jawabnya ada 3 sebab yang membuat video rekaman Ahok terus menjadi buah bibir bahkan terancam pidana:

  1. Karena Ahok bukanlah seorang Muslim. Berbeda dengan Rizieq yang merupakan seorang muslim sekaligus salah satu tokoh ulamah di FPI. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim terlebih ulamah untuk mengingatkan sesame muslim lainnya agar tidak mudah terjebak dengan suatu penafsiran yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Quran. Benar bahwa untuk memahami ajaran Islam secara hakiki, tidakah cukup bagi seorang muslim jika hanya berpegang pada satu tafsir dari ayat Al-Quran saja. Karena sejatinya, wajib hukumnya selain mengetahui dan bepegang pada tafsir ayat Al-Quran juga berpegang pada hadits dan perilaku para sahabat Rasulullah SAW di kala itu, sehingga tahu sebab musabab diturunkannya ayat Al-Quran tersebut dan peruntukannya.
  2. Ahok ialah seorang yang berasal dari etnis tionghoa (non pribumi). Istilah non pribumi kembali mencuat seiring peristiwa ini menjadi sorotan. Bukan rahasia umum lagi, jikalau etnis Tionghoa memiliki sejarah kelam di tanah air Indonesia tepat 18 tahun yang silam. Etnis Tionghoa menjadi korban bulan-bulanan massa, dampak dari kebringasan periode transisi dari orde baru ke reformasi. Itulah mengapa, banyak kekhawatiran dan menciptakan keresahan sebagian pihak bahwa peristiwa kelam etnis Tionghoa dapat terulang, meskipun kemungkinan akan terjadi lagi mendekati kata “mustahil”. Pertimbangan ini atas dasar analisis demografi perkiraan demonstran, situasi kamnas dan kesiapan aparat keamanan jauh lebih baik dibandingkan pada Mei tahun 1998.
  3. Syarat akan kepentingan politik. Ahok merupakan seorang petahana yang kembali ikut memperebutkan kursi orang nomor 1 di Provinsi DKI. Bukan bermaksud suudzon, namun ini merupakan salah satu momen yang tak akan dilewatkan begitu saja oleh lawa politik Ahok. Tiada tujuan lain, selain untuk menurunkan elektabilitas Ahok dalam pertarungan Pemilihan Gubernur tahun 2017 mendatang. Tak heran, jika Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyebutkan bahwa kerusahan pada aksi damai 4 November ditunggangi oleh aktor-aktor politik untuk memanfaatkan situasi.

Sebagai insan yang ditinggikan derajatnya dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya, sudah selayaknya kita dapat menentukan sikap sehingga tidak mudah terjebak dan terprovokasi oleh pemahaman yang keliru. Sikap teladan yang sesuai dengan peristiwa yang tengah berkecamuk saat ini, ialah diam dan percayakan kepada proses hukum yang berlaku.

Sebagaimana para Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap diam terhadap apa yang terjadi di antara sahabat serta tidak membahasnya. Situasi ini terdapat pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan ra. Kala itu terjadi gejolak fitnah yang luar biasa dari kaum munafiqqun dan sebagian kaum muslimin terprovokasi oleh cerita fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’. Peristiwa ini menyebabkan terbunuhnya Khalifah Utsman dan setelahnya tercatat dalam sejarah mengakibatkan terjadinya dua kali perang, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Dalam kaitannya pada dinamika situasi yang terus berkembang saat ini, sikap diam, kehati-hatian dan tidak gegabah merupakan langkah bijak yang dapat dilakukan oleh semua lapisan elemen masyarakat guna mengantisipasi situasi (rentan fitnah) yang lebih buruk lagi, yaitu chaos. Niat awal untuk membela Islam, rawan disisipkan unsur-unsur kepentingan lainnya yang menguntungkan suatu golongan tertentu. Nauzubillah min zalik. (ADV)

Fadlani, Pemerhati Sosial dan Politik